“Pak Hara. Mohon bantuan ya, menyosialisasikan Pekan Imunisasi Nasional. Terutama Desa Argasunya lho.” sahut ibu pejabat Dinas Kesehatan Kota Cirebon terkait PIN 2016.
“Siap, Bu dokter!” jawabku mantap.
Padahal di hati muncul perasaan ngeri-ngeri sedap dengar nama Argasunya. Kenapa begitu? Apakah Argasunya berhantu? Oooo… tidak. Tidak.
Siapapun tahu—WHO pun tahu—warga Desa Argasunya menolak mentah-mentah imunisasi. Saat PIN 2016 kemarin, tingkat keberhasilannya cuma 62% dari target 90%. Padahal MUI sudah mengumumkan imunisasi halal (cek Republika dan Eyang Anjari). Ini jadi PR bersama, termasuk aku dan kawan-kawan dalam kapasitas tenaga penyuluh keagamaan. Kami tahu pasti yang terjadi di lapangan. Di Argasunya terdapat satu kampung yang hidup secara eksklusif dan menolak “modernisasi”. Hal-hal asing dianggap haram sekalipun fatwa sekaliber MUI menghalalkannya. Diperlukan upaya yang tidak sebentar dan cara yang simpatik dalam merebut hati mereka dan membuktikan bahwa program yang ditawarkan baik untuk kesehatan.
Karakteristik serupa kita jumpai pada masyarakat terisolir seperti daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Diperlukan “hal-hal tidak biasa dan tidak instan” menanganinya. Karenanya aku senang sekali ketika Kementerian Kesehatan membuka program Tim Nusantara Sehat. Aku sampai tidak segan berandai-andai menjadi tim ini untuk Kepulauan Anambas, salah satu tempat yang tidak mengizinkan kita sakit.
Lebih jelasnya, kita kupas satu per satu.
Apa Itu Tim Nusantara Sehat
Tim Nusantara Sehat adalah program yang diluncurkan Kementerian Kesehatan sebagai upaya penguatan pelayanan kesehatan primer atau puskesmas melalui peningkatan jumlah, sebaran, komposisi, dan mutu tenaga kesehatan.
Anggota timnya terdiri dari dokter umum, bidan, perawat, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, ahli teknologi laboratorium medis, serta tenaga kefarmasian yang sudah mendapatkan pembekalan dan akan bertugas selama dua tahun. Tiap-tiap tim disebar ke berbagai DTPK dari Sabang sampai Merauke, termasuk Pulau Belakangpadang, Batam.
Inilah yang kusuka.
Pertama, program menyasar DTPK.
Kedua, program berlangsung tidak instan, dan
Ketiga, program memiliki pendekatan lebih menyeluruh dan melibatkan tenaga kesehatan dari berbagai latar belakang. Program ini cocok sekali untuk Kepulauan Anambas, salah satu daerah penempatan Tim Nusantara Sehat juga.
Mengapa Anambas?
Jika kita ketik kata “anambas” di mesin Google, gambar pemandangan laut luar biasa bin emejing akan muncul. Kawanku menikah dengan penduduk asli Anambas. Dia sampai bilang begini,
Dia tidak bercanda, tempat ini emejing sungguh emejing!! Pulau Jemaja,
misalnya, menampilkan pesisir pantai landai sepanjang 7 kilometer .
Pulau Kuku pernah dijadikan tempat eks pengungsi Vietnam, dan hampir
setiap tahun keturunan mereka berziarah. Pulau yang kusuka adalah Pulau
Bawah. Pemandangan terumbu karang ruarr biasa dahsyat.
Jika datang sebagai turis, kita pasti termehek-mehek oleh romantika surga kecil ini. Tapi jika datang untuk menetap, kita akan paham Anambas menyimpan kisah sedih (khas) daerah perbatasan.
Kisah sedih pertama, akses transportasi. Tidak banyak pilihan moda transportasi. Kita hanya bisa mengandalkan kapal ferry dari Tanjung Pinang selama 9 jam perjalanan. Kalau kita penyabar, bolehlah naik kapal Pelni dari Tanjung Priok selama 36 jam. Dan kalau kita orang Eropa tajir, datanglah ke Anambas via Singapura naik yacht superkeren, lalu bermalam di dalam yacht tanpa perlu mencium bau amis atau solar bocor. Dulu ada akses transportasi udara, tapi temanku bilang penyedia maskapai gulung tikar.
Kisah kedua, akses komunikasi. Jaringan telepon selular memang ada, tapi sekalinya hilang bisa berminggu-minggu karena berbagai alasan.
Kisah ketiga, bahan makanan. Ikan jelas murah karena mudah didapat. Tetapi jangan harap menemukan bakso, cimol, siomay, bahkan sayur mayur dengan mudah. Tomat, misalnya. Penduduk Anambas tidak terbiasa menanam tomat untuk diperdagangkan. Barang seperti ini mesti dikirim dari Tanjung Pinang atau Malaysia. Daging pun begitu. Penduduk tidak datang ke los-los daging, tapi pedagang dagingnya datang ke rumah-rumah mencatat siapa yang ingin beli daging. Malamnya dia sembelih sapi, lalu paginya diantarkan daging itu. Saat Lebaran aturannya “spesial”. Siapa yang datang duluan ke tempat penyembelihan (tengah malam), dia dapat jatah daging. Telat sedikit, gigit jari!
Syukurlah orang-orang Anambas dikaruniai kesabaran luar biasa atas keterbatasan ini. Hanya satu paling mereka risaukan: keterbatasan fasilitas kesehatan.
Dilarang Sakit di Anambas
Temanku itu, paling pusing kalau anaknya sakit, walaupun hanya panas.
Tim Nusantara Sehat Penting Dilaksanakan
Inilah alasannya mengapa program Tim Nusantara Sehat penting dilaksanakan. Sudah saatnya warga Indonesia di daerah tertinggal dan perbatasan mendapat perhatian dan hak yang sama seperti warga perkotaan. Ibu-ibu hamil mereka layak diselamatkan. Janin dan bayi mereka layak diselamatkan. Dan orang-orang sakit lainnya pun layak diselamatkan.
Terlebih kawasan perbatasan hakikatnya menyimpan api dalam sekam. Karakteristiknya "rapuh" karena secara psikis jiwa mereka lebih dekat dengan kehidupan negara tetangga walau secara fisik berkewarganegaraan Indonesia. Ini disebabkan ketidakhadiran Negara dalam memerhatikan mereka, sehingga mereka cari jalan sendiri walau harus menyeberangi batas wilayah negara (yang mungkin saja mengaburkan semangat kebangsaannya).
Dengan program Tim Nusantara Sehat-lah kukira hal tersebut dapat direduksi. Lewat program ini Negara bisa membuktikan bahwa Negara ada untuk mereka. Bahwa mereka tidak sendirian di ujung nusantara sana. Bahwa keberadaan mereka diakui dan diperhatikan. Bahwa mereka bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Bahwa mereka juga orang-orang yang pantas dirindukan.
Dan ini tidak bisa dilaksanakan secara instan. Perlu upaya serius dan simpatik untuk merangkul mereka secara bertahap. Karenanya aku pasti akan senang sekali jika menjadi Tim Nusantara Sehat. Aku senang bisa memberi manfaat kepada orang banyak dan membaktikan diri agar Nusantara yang Sehat terwujud secara menyeluruh.
Kasus Argasunya menunjukkan hal ini tidak mudah. Perbedaan budaya, nalar, dan kondisi alam dapat menjadi penghalang yang vital. Asalkan kita percaya bisa melakukannya, maka kita bisa.
Jayalah terus, Indonesia! Jayalah terus Tim Nusantara Sehat!
Hara Hope
Novelis, Blogger, Traveler, Space Traveler
*FYI, sejauh ini pemerintah pusat dan daerah getol membangun sarana/prasarana di Anambas. Semoga Anambas kian maju ke depannya. Amiiin.....
“Siap, Bu dokter!” jawabku mantap.
Padahal di hati muncul perasaan ngeri-ngeri sedap dengar nama Argasunya. Kenapa begitu? Apakah Argasunya berhantu? Oooo… tidak. Tidak.
Pintu masuk Kampung Benda, Argasunya. Mobil/motor tidak bisa masuk. Dok. Pribadi. Upload pertama di NongkrongdiCirebon |
Siapapun tahu—WHO pun tahu—warga Desa Argasunya menolak mentah-mentah imunisasi. Saat PIN 2016 kemarin, tingkat keberhasilannya cuma 62% dari target 90%. Padahal MUI sudah mengumumkan imunisasi halal (cek Republika dan Eyang Anjari). Ini jadi PR bersama, termasuk aku dan kawan-kawan dalam kapasitas tenaga penyuluh keagamaan. Kami tahu pasti yang terjadi di lapangan. Di Argasunya terdapat satu kampung yang hidup secara eksklusif dan menolak “modernisasi”. Hal-hal asing dianggap haram sekalipun fatwa sekaliber MUI menghalalkannya. Diperlukan upaya yang tidak sebentar dan cara yang simpatik dalam merebut hati mereka dan membuktikan bahwa program yang ditawarkan baik untuk kesehatan.
Karakteristik serupa kita jumpai pada masyarakat terisolir seperti daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Diperlukan “hal-hal tidak biasa dan tidak instan” menanganinya. Karenanya aku senang sekali ketika Kementerian Kesehatan membuka program Tim Nusantara Sehat. Aku sampai tidak segan berandai-andai menjadi tim ini untuk Kepulauan Anambas, salah satu tempat yang tidak mengizinkan kita sakit.
Lebih jelasnya, kita kupas satu per satu.
Apa Itu Tim Nusantara Sehat
Tim Nusantara Sehat. Sumber gamar di SINI |
Anggota timnya terdiri dari dokter umum, bidan, perawat, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, ahli teknologi laboratorium medis, serta tenaga kefarmasian yang sudah mendapatkan pembekalan dan akan bertugas selama dua tahun. Tiap-tiap tim disebar ke berbagai DTPK dari Sabang sampai Merauke, termasuk Pulau Belakangpadang, Batam.
Inilah yang kusuka.
Pertama, program menyasar DTPK.
Kedua, program berlangsung tidak instan, dan
Ketiga, program memiliki pendekatan lebih menyeluruh dan melibatkan tenaga kesehatan dari berbagai latar belakang. Program ini cocok sekali untuk Kepulauan Anambas, salah satu daerah penempatan Tim Nusantara Sehat juga.
Mengapa Anambas?
Jika kita ketik kata “anambas” di mesin Google, gambar pemandangan laut luar biasa bin emejing akan muncul. Kawanku menikah dengan penduduk asli Anambas. Dia sampai bilang begini,
“Gila bener, Har! Aku sudah keliling Indonesia, baru kali ini bengong lihat pemandangan menakjubkan. Aku sampai bilang, ‘ini beneran pantai atau surga?!'.”
Pulau Bawah di Kepuauan Anambas. Sumber gambar dari SINI |
Jika datang sebagai turis, kita pasti termehek-mehek oleh romantika surga kecil ini. Tapi jika datang untuk menetap, kita akan paham Anambas menyimpan kisah sedih (khas) daerah perbatasan.
Kisah sedih pertama, akses transportasi. Tidak banyak pilihan moda transportasi. Kita hanya bisa mengandalkan kapal ferry dari Tanjung Pinang selama 9 jam perjalanan. Kalau kita penyabar, bolehlah naik kapal Pelni dari Tanjung Priok selama 36 jam. Dan kalau kita orang Eropa tajir, datanglah ke Anambas via Singapura naik yacht superkeren, lalu bermalam di dalam yacht tanpa perlu mencium bau amis atau solar bocor. Dulu ada akses transportasi udara, tapi temanku bilang penyedia maskapai gulung tikar.
Kisah kedua, akses komunikasi. Jaringan telepon selular memang ada, tapi sekalinya hilang bisa berminggu-minggu karena berbagai alasan.
Kisah ketiga, bahan makanan. Ikan jelas murah karena mudah didapat. Tetapi jangan harap menemukan bakso, cimol, siomay, bahkan sayur mayur dengan mudah. Tomat, misalnya. Penduduk Anambas tidak terbiasa menanam tomat untuk diperdagangkan. Barang seperti ini mesti dikirim dari Tanjung Pinang atau Malaysia. Daging pun begitu. Penduduk tidak datang ke los-los daging, tapi pedagang dagingnya datang ke rumah-rumah mencatat siapa yang ingin beli daging. Malamnya dia sembelih sapi, lalu paginya diantarkan daging itu. Saat Lebaran aturannya “spesial”. Siapa yang datang duluan ke tempat penyembelihan (tengah malam), dia dapat jatah daging. Telat sedikit, gigit jari!
Syukurlah orang-orang Anambas dikaruniai kesabaran luar biasa atas keterbatasan ini. Hanya satu paling mereka risaukan: keterbatasan fasilitas kesehatan.
Dilarang Sakit di Anambas
Peta dan profil Kepulauan Anambas. Gambar Dok. BPP Kep. Anambas |
“Lebih pusing lagi kalau panasnya tidak turun sampai tiga hari, Har. Pikiranku langsung gelap. Jalan satu-satunya pergi ke Tanjung Pinang, lalu terbang ke Singapura atau Malaysia. Itu kalau cuaca normal. Bagaimana kalau sedang musim utara? Ombaknya tinggi-tinggi. Tidak ada kapal berani lewat kecuali kapal ferry. Lha datangnya aja nggak setiap jam! Dengan apa aku bawa anak ke rumah sakit?!”Aku pernah dengar tentang musim utara itu. Curah hujannya tinggi, ombaknya pun tinggi sekira 1-6 meter. Ngeri! Akibatnya kiriman logistik terganggu, termasuk sembako dan obat-obatan.
“Di sini uang bukan segalanya, Har. Kesehatanlah segalanya,” temanku lirih.Hatiku menangis mendengarnya. Ini seperti serangkaian pernyataan “dilarang sakit di Anambas”!
“Sering sekali terjadi kematian gara-gara ‘sakit ringan’. Bukan karena dokter tidak mampu, tapi karena perjalanan antarpulau. Orang yang sakit bisa tidak kuat perjalanan, lalu tiba di puskesmas dalam keadaan tidak bernyawa.”
“Dulu juga pernah ada wanita hamil yang bayinya sungsang dan terbelit ari. Supaya bayi lahir selamat, mesti pembedahan caesar. Lha mana ada peralalatan caesar lengkap di sini? Kita harus pergi dulu ke Singapura atau Malaysia. Si jabang bayi akhirnya meninggal di dalam perut. Ironisnya, saat ada kapal yang bisa bawa dia ke Malaysia, itu cuma buat mengeluarkan jasad bayinya saja.”
Tim Nusantara Sehat Penting Dilaksanakan
Ibu Menkes saat penyematan tanda peserta pembekalan Tim NS. Sumber gambar di SINI |
Terlebih kawasan perbatasan hakikatnya menyimpan api dalam sekam. Karakteristiknya "rapuh" karena secara psikis jiwa mereka lebih dekat dengan kehidupan negara tetangga walau secara fisik berkewarganegaraan Indonesia. Ini disebabkan ketidakhadiran Negara dalam memerhatikan mereka, sehingga mereka cari jalan sendiri walau harus menyeberangi batas wilayah negara (yang mungkin saja mengaburkan semangat kebangsaannya).
Dengan program Tim Nusantara Sehat-lah kukira hal tersebut dapat direduksi. Lewat program ini Negara bisa membuktikan bahwa Negara ada untuk mereka. Bahwa mereka tidak sendirian di ujung nusantara sana. Bahwa keberadaan mereka diakui dan diperhatikan. Bahwa mereka bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Bahwa mereka juga orang-orang yang pantas dirindukan.
Dan ini tidak bisa dilaksanakan secara instan. Perlu upaya serius dan simpatik untuk merangkul mereka secara bertahap. Karenanya aku pasti akan senang sekali jika menjadi Tim Nusantara Sehat. Aku senang bisa memberi manfaat kepada orang banyak dan membaktikan diri agar Nusantara yang Sehat terwujud secara menyeluruh.
Kasus Argasunya menunjukkan hal ini tidak mudah. Perbedaan budaya, nalar, dan kondisi alam dapat menjadi penghalang yang vital. Asalkan kita percaya bisa melakukannya, maka kita bisa.
Jayalah terus, Indonesia! Jayalah terus Tim Nusantara Sehat!
Hara Hope
Novelis, Blogger, Traveler, Space Traveler
*FYI, sejauh ini pemerintah pusat dan daerah getol membangun sarana/prasarana di Anambas. Semoga Anambas kian maju ke depannya. Amiiin.....